Kebutuhan sarjana teknik di Indonesia masih sangat besar. Tidak percaya?
 TeÂngok saja kegelisahan MenÂteri Koordinator PerÂekoÂnomian Hatta 
Rajasa dalam sebuah seminar nasional tentang implementasi kebijakan 
MP3EI (MasÂterÂplan Percepatan dan PerÂluasan Pembangunan Ekonomi 
Indonesia) di PeÂkanÂbaru, Riau, pertengahan Juli lalu.
Sebagai
 negara penyandang gelar layak investasi, Indonesia menjadi surganya 
para investor mengembangkan duit mereka. Arus investasi asing seharusnya
 membuka banyak lapangan kerja. Geliat proyek infrastruktur, misalnya, 
bakal kian semarak. Cukup tersediakah sumberdaya manusia kita?
Dalam
 forum tersebut, Hatta menjelaskan, kini pasokan sarjana ilmu teknik 
belum mampu memenuhi kebutuhan permintaan pasar tenaga kerja domestik. 
Ada kecenderungan para pelajar kurang tertarik menekuni ilmu teknik. 
Padahal, kebutuhan terhadap lulusan ilmu tersebut sangat banyak. Sebagai
 nakhoda MP3EI, Hatta berkepentingan agar program yang lahir dari 
kementeriannya bisa berjalan sukses.
Program MP3EI, sejatinya, 
bertujuan mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi melalui 
pengembangan delapan program utama, meliputi sektor industri manufaktur,
 pertambangan, pertanian, kelautan, pariwisata, telekomunikasi, energi 
dan pengembangan kawasan strategis 
nasional.
Sayang, menurut 
prediksi Hatta, saat ini ada kekurangan sekitar 5.000 sarjana teknik. 
Angka itu akan membengkak menjadi 25.000 orang pada 2025 mendatang. 
Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PPI) Muhammad Said Didu 
mengatakan, pihaknya juga mencermati kekurangan pasokan tenaga teknik 
dari dalam negeri. Dia mengingatkan, liberalisasi perdagangan serta jasa
 di kawasan ASEAN yang ditargetkan dilaksanakan pada 2015 akan berdampak
 pada liberalisasi pasar kerja, baik berupa investasi maupun tenaga 
kerja.
Kekurangan pasokan tenaga kerja dalam negeri tersebut, 
lanjut Said Didu, akan membuka pintu masuk yang lebar bagi tenaga kerja 
asing. "Ini sebenarnya kesempatan yang besar bagi anak-anak yang 
berminat mengambil program teknik dalam pendidikan lanjutannya," tutur 
mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negera (BUMN) di era 
Meneg BUMN Sugiharto, Sofyan Djalil, dan Mustafa Abubakar tersebut.
Sebuah
 riset yang dibuat Said Didu pada 2011 lalu mengungkapkan, setahun 
sebelumnya pasokan sarjana teknik dalam negeri hanya sebesar 37.000 per 
tahun. Padahal, dia memperkirakan, pada 2010 - 2015, rata-rata kebutuhan
 sarjana teknik di Indonesia mencapai 57.000 per tahun, sedangkan para 
kurun waktu yang sama rata-rata pasokan baru 50.000 per tahun.
Pada
 periode 2015 - 2020, permintaan terhadap sarjana teknik diperkirakan 
bakal mencapai rata-rata 90.500 orang per tahun. Adapun sumberdaya 
manusia (SDM) dari dalam negeri diperkirakan hanya sebesar 75.000 orang.
Lantas
 bagaimana bila dibandingkan dengan negara tetangga? Ternyata, angka 
dari hasil riset Said Didu kurang begitu menggembirakan. Setiap 1 juta 
penduduk Indonesia, lanjut Said, hanya bisa menghasilkan sarjana teknik 
sebanyak 164 orang. Bandingkan saja dengan China yang bisa menghasilkan 
456 sarjana teknik per 1 juta penduduknya. Kemampuan menghasilkan 
sarjana teknik kita pun kalah dibandingkan India, yang bisa menyediakan 
406 sarjana teknik dari per 
1 juta penduduknya.
Bahkan, 
dengan Malaysia pun, Indonesia masih ketinggalan. Dengan pasokan sarjana
 teknik sebanyak 9.900 per tahun, mereka mampu menyediakan 367 orang 
sarjana teknik per sejuta penduduk.
Rawan bajakan
Direktur Firstasia Consultants Nining Kristiana pun mengakui kondisi tersebut. Dia mengatakan, saat ini ahli teknik (engineering)
 masih menjadi salah satu profesi yang paling banyak dibutuhkan 
perusahaan. Karena kebutuhan yang mendesak, tak jarang, perusahaan 
melakukan campus hiring alias mencari bibit-bibit berbakat dan 
berkualitas yang potensial mereka rekrut sebagai tenaga kerja langsung 
ke kampus-kampus. 
Beberapa lulusan sarjana teknik yang banyak 
diminta oleh banyak perusahaan dalam beberapa bulan terakhir adalah 
teknik perminyakan, arsitektur, sipil, informatika, serta otomotif.
Sarjana
 teknik perminyakan, misalnya, tentu berprospek sangat cerah lantaran 
Indonesia terkenal akan sumberdaya alamnya. Demikian halnya dengan 
teknik arsitektur dan sipil. Booming sektor properti dalam 
beberapa waktu terakhir seakan tak pernah surut meminta tenaga 
profesional yang memiliki kapabilitas di bidang ini.
Adapun 
teknik industri, kata Nining, adalah keahlian yang paling banyak 
dibutuhkan lantaran menjadi aset utama kemajuan dan pertumbuhan industri
 di tanah air. Kebutuhan teknologi baru penunjang operasional industri 
yang semakin modern akan menyebabkan lulusan sarjana teknik industri 
yang berkualitas tak akan jadi pengangguran. Terlebih lagi, dengan 
adanya pengembangan teknologi baru bagi operasional akan meningkatkan 
efisiensi dan pendapatan perusahaan yang bersangkutan.
Semua 
pabrik butuh tenaga teknik industri. Sekadar gambaran, pada industri 
minuman, tenaga teknik industri dibutuhkan untuk menyediakan 
infrastruktur yang bisa membuat proses produksi lebih singkat dan mudah.
 "Kesempatan lebih luas untuk berkarier ada di teknik industri. Di top 
level, tenaga teknik industri biasanya dibajak dari satu industri ke 
industri lain," beber Nining.
Satu hal yang juga menjadi 
perhatian Nining adalah kebiasaan pencari kerja generasi sekarang yang 
tak hanya melihat masalah gaji tetapi juga happiness dan kenyamanan 
bekerja. "Sekarang ada tren gampang pindah kerja dan jadi kutu loncat. 
Ini tantangan besar bagi perusahaan," imbuhnya.
Haryo Suryosumarto Managing Director Head Hunter Indonesia, pun menilai kebutuhan tenaga engineer selalu akan booming. Banyak investasi asing yang masuk ke indonesia ketika membangun pabrik membutuhkan banyak tenaga engineer.
Terlebih
 lagi, saat ini perusahaan properti dan infrastruktur kebanjiran banyak 
proyek baru. Inilah salah satu pemicu tingginya permintaan profesional 
di bidang jasa teknik properti dan konstruksi. "Tingginya permintaan 
juga ada di level menengah dan atas. Malah agak kesulitan karena 
biasanya engineer terikat masa kerja dengan proyeknya yang lama," kata 
Haryo.
Maka, bukan barang yang aneh bila seorang sarjana teknik 
di sektor ini bisa mendapatkan tawaran dari lima perusahaan sekaligus. 
Tentu saja, pengalaman kerja dan kemampuan menjadikan nilai jualnya 
lebih tinggi lagi. 
Dalam catatan Haryo, permintaan pasar tenaga kerja untuk civil engineer, mechanical engineer, dan electrical engineer
 relatif stabil dalam beberapa tahun terakhir. Inilah mengapa ketiganya,
 di mata Haryo, lebih aman bagi calon sarjana yang akan lulus dari 
institusi perguruan tinggi.
Namun, lain halnya dengan engineer 
perminyakan. Permintaannya memang sempat tinggi saat booming harga 
komoditas di awal 2000-an. Tetapi sekarang, lanjut Haryo, relatif biasa.
Lantas,
 berapa pasaran gaji insinyur saat ini? Kata Haryo, untuk pegawai anyar,
 penawaran gaji sarjana teknik di bidang konstruksi dan properti umumnya
 berkisar Rp 5 juta - Rp 8 juta per bulan. Sedangkan, insinyur di sektor
 minyak dan gas bumi bisa mencapai Rp 10 juta. "Jika sudah kategori 
senior engineering, gaji bisa mencapai Rp 15 juta per bulan," ujarnya. 
Lain
 lagi untuk hitungan sekelas manajer yang bisa dibayar Rp 20 juta - Rp 
30 juta dengan pengalaman minimal 10 tahun masa kerja. Menanjak ke level
 project manager, pasaran gajinya bisa mencapai Rp 40 juta. Untuk 
sekelas project director, gajinya saat ini pasti sudah lebih dari Rp 40 
juta.
Menurut Nining, engineering yang baru masuk kerja biasa 
digaji Rp 3 juta - Rp 4 juta per bulan. Untuk teknik perminyakan, gaji 
awalnya antara 
Rp 6 juta - Rp 8 juta. 
Kata Nining, modal utama untuk profesi ini adalah hard skill,
 pengetahuan, dan keahlian. Ini adalah profesi yang tidak memungkinkan 
kesuksesan datang tanpa latar belakang pendidikan teknik. Itu sebabnya, 
untuk level paling bawah sekali pun, perusahaan tak mau menerima pekerja
 dengan latar belakang pendidikan yang berbeda. "Karena pekerjaan 
engineering biasanya mengandung risiko yang tinggi, sebab berhadapan 
dengan mesin dan alat-alat," kata Nining.
Tak hanya itu, ahli 
teknik juga harus punya kemampuan analisis yang kuat. Pasalnya, mereka 
akan berhadapan langsung dengan kasus-kasus di lapangan yang membutuhkan
 hitungan dan analisis yang memadai.
Jiwa memimpin
Untuk
 menjadi seorang engineering yang andal, berikut ini adalah masukan dari
 Haryo. Bagi mereka yang baru lulus atau fresh graduate, sebaiknya jika 
ada kesempatan, bekerja di perusahaan multinasional terlebih dahulu.
Tujuannya
 agar si sarjana teknik tersebut mengetahui bagaimana memperbaiki 
kemampuan mereka beradaptasi dalam suasana kerja yang melibatkan 
multietnis serta budaya. "Bisa belajar teknologi dan budaya kerjanya di 
perusahaan tersebut," saran Haryo.
Setelah cukup memiliki bekal 
pengalaman dari perusahaan multinasional, barulah ia menyarankan untuk 
bekerja di perusahaan nasional. Tentu, dengan catatan, penawaran level 
karier dan pendapatan yang lebih tinggi. Biasanya, mereka pasti dituntut
 membawa perubahan suasana dan etos kerja yang dibawa dari perusahaan 
multinasional berkelas dunia.
Sementara itu, Nining mengatakan, seorang sarjana teknik juga harus memiliki soft skill, yakni kemampuan kepemimpinan (leadership) dan komunikasi. Di level bawah dan menengah tenaga teknik sangat mengandalkan keahlian (expertise)
 sebagai modal utama bagi jenjang karier dan kenaikan gaji. Tetapi, di 
level menengah dan atas, kecakapan memimpinlah yang akan banyak 
berbicara. 
Hingga saat ini, hanya segelintir ahli teknik yang memiliki soft skill
 baik. Sebab, biasanya ahli teknik terbiasa berhadapan dengan benda mati
 sehingga kemampuan beradaptasi dengan manusia atau lingkungan relatif 
minim. Jika sudah begini, karier ahli teknik bergaji besar pun akan 
mentok di level menengah. Sayang sekali jika perusahaan ternyata 
akhirnya lebih memilih mengisi posisi Âtop level-nya dengan orang dari bidang yang lain. Expertise memang mahal, tapi memiliki soft skill pasti lebih menjual.
Nah, jadi, siapa sekarang yang mau mengikuti jejak Si Doel jadi tukang insinyur?
sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/news/ahli-teknik-tak-cuma-mentok-di-level-menengah/2012/08/27
 
No comments:
Post a Comment